“Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Demikian isi alinea pertama pembukaan UUD ‘45
yang merupakan landasan dasar pemikiran terbentuknya bangsa dan negara Republik
Indonesia.
Memang negeri
ini telah merdeka berpuluh-puluh tahun yang lalu dari penjajah Spanyol,
Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Akan tetapi, sesungguhnya masih ada satu lagi jenis
penjajahan yang menjajah bangsa Indonesia, yaitu penjajahan terhadap
hak asasi manusia seperti yang terjadi pada
para penyandang cacat, khususnya
tunanetra.
Dari bentangan waktu yang begitu panjang dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sebenarnya pemerintah telah melakukan usaha-usaha
untuk penyantunan dan pengentasan para penyandang cacat. Usaha-usaha tersebut diwujudkan
dalam bentuk pelatihan-pelatihan keterampilan, pembangunan panti-panti sosial,
rehabilitasi sosial serta bimbingan mental. Pelatihan-pelatihan keterampilan
dimaksudkan untuk membekali para penyandang cacat dengan keahlian
berproduksi. Pembangunan panti-panti sosial
diperuntukkan sebagai tempat tinggal bagi para penyandang cacat yang tidak
bertempat tinggal dan sebagai tempat melakukan kegiatan. Sedangkan
rehabilitasi maupun bimbingan mental bertujuan memberi dorongan mental kepada
para penyandang cacat yang sering kali mengalami tekanan, baik dari dalam dirinya yang merasa tidak percaya diri maupun dari lingkungan sosialnya yang
terkadang mendiskriminasikan mereka. Usaha-usaha di atas telah tercantum dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),
dan Pemerintahan Orde Baru mencantumkan usaha-usaha tersebut dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
IV dan V. Pemerintah juga telah mewujudkan isi pasal 31 UUD ’45 mengenai
pendidikan, dalam hal ini adalah dengan mendirikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) untuk para
penyandang cacat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar